Rabu, 01 Oktober 2014

GEPENG

Gelandangan

Banyaknya permasalahan yang ada di indonesia salah satunya penertiban gepeng dimana-mana yang meresahkan puluhan masyarakat di setiap provinsi dan kabupaten. Seperti yang kita ketahui pemerintah indonesia terutama pemerintah kabupaten aceh tengah yang terletak di titik tengah provinsi yang paling ujung di indonesia. Gepeng merupakan kepanjangan dari gelandangan dan pengemis yang merupakan sekumpulan orang yang tidak memiliki pekerjaan dan kekayaan harta yang memilih bekerja sebagai orang yang meminta-minta di sudut kota maupun dijalanan.

Hal ini meresahkan masyarakat tak halnya lagi beban dalam menyantuni mereka. Pemerintah kabupaten selama ini berusaha untuk menertibkan gepeng tersebut dengan bantuan dinas sosial kabupaten aceh tengah yang mana telah memulangkan mereka ke tempat asalnya. Namun, seringnya kembali dengan alasan tidak ada pekerjaan lain di daerahnya. Pemerintah aceh sendiri telah memberikan kesempatan bagi mereka untuk dapat hidup dan menempati panti-panti untuk dihuni oleh para gepeng sehingga dapat mensejahterakan dan memandirikan mereka. Seperti kita liat sendiri gepeng tersebut lebih memilih untuk meminta di jalanan karena uang yang didapat lumayan besar dibandingkan diam dipanti asuhan.

Dampak positif dan negatif tampaknya semakin sulit dihindari dalam pembangunan, sehingga selalu diperlukan usaha untuk lebih mengembangkan dampak positif pembangunan serta mengurangi dan mengantisipasi dampak negatifnya. Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan. Keberhasilan percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa-kota yang antara lain memunculkan gepeng karena sulitnya pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan dan pedesaan.

Menurut Departemen Sosial R.I (1992), gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.

Beberapa ahli menggolongkan gelandangan dan pengemis termasuk ke dalam golongan sektor informal. Keith Harth (1973) mengemukakan bahwa dari kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan termasuk pekerja sektor informal. Sementara itu, Jan Breman (1980) mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis terhadap kelas sosial di kota, yaitu
(1)  kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki ketrampilan;
(2)  kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal; dan
(3)  kelompok miskin yang kegiatannya mirip gelandangan dan pengemis. Kelompok kedua dan ketigalah yang paling banyak di kota dunia ketiga. Ketiga kelompok ini masuk ke dalam golongan pekerja sektor informal

Berdasarkan pada hasil penelitian, menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya Gepeng ádalah  faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya. Faktor internal meliputi :
(I)              kemiskinan;
(Ii)              umur;
(iii)          rendahnya tingkat pendidikan formal;
(iv)           ijin orang tua;
(v)           rendahnya tingkat ketrampilan;
(vi)          sikap mental.

Sedangkan faktor-faktor eksternal mencakup:  
(I)          berjalan hidrologis; 
(ii)       kondisi pertanian;
(iii)      kondisi prasarana dan sarana fisik;
(iv)     akses terhadap informasi dan modal usaha;
(v)       kondisi permisif masyarakat di kota;
(vi)     kelemahan pananganan Gepeng di kota.

          
  Oleh karena itu, pemecahan masalahnya harus mencakup dua aspek yaitu: kondisi di daerah asal; dan kondisi daerah tujuan. Prinsipnya adalah upaya pencegahan dilakukan di daerah asal sehingga mereka tidak terdorong untuk meninggalkan desanya dan mencari penghasilan di kota dengan cara membuka pekerjaan di desa. Sedangkan di sisi lain, prinsipnya adalah penanggulangan yaitu di tempat tujuan “harus” ditanggulangi atau ditangani sehingga mereka tidak lagi tertarik untuk menjadi Gepeng di kota, karena sudah merasa cukup di daerah asal yang ditinggalnya. 

Hal ini harus dipahami dan dimengerti oleh pemerintah daerah dan instansi terkait untuk lebih berusaha untuk memperbaiki daerah demi kesejahteraan masyarakat dan memandirikan masyarakat berdasarkan peraturan-peraturan dari kebijakan pemerintah tersebut.

GAM

SEJARAH mengapa GAM berdiri dan terbentuknya Walinanggroe....

BICARA GAM, mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Di bawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan.

Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ''Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.'' Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Tengku Nyak Arief gubernur di bumi Serambi Mekah.

Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946.

Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.

Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat.

Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.

Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi.

Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo.

Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.

Soekarno makin represif. Setiap ketidakpuasan dihancurkan oleh kekuatan militer. PRRI/Permesta pun disikat habis. Republik Persatuan Indonesia (RPI) pun ditumpas. Pemimpinnya ditangkapi. Tahun 1961, Presiden RPI Syfarudin Prawiranegara menyerah. Diikuti tokoh DI/TII lainnya, seperti M Natsir. Tetapi, Daud Beureueh tetap gerilya di hutan, melawan Soekarno.

Dikhianati

Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).

GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.

Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata.

Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM.

Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto. 


WALI NANGGROE



Mencermati Pro dan Kontra Qanun Wali Nanggroe Di Aceh Mencermati Pro dan Kontra Qanun Wali Nanggroe Di AcehTarik ulur tentang Wali Nanggroe menjadi topik krusial yang berkembang, di ujung masa tugas para anggota DPRA periode 2004-2009. Di tengah harapan agar Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe dapat disahkan sebelum mereka lengser sebagai anggota dewan, ternyata pihak eksekutif selaku pemegang kendali Pemerintahan Aceh menganggap Qanun tersebut belum mendesak untuk ditetapkan dalam waktu dekat ini. 

Raqan Wali Nanggroe yang diajukan sebagai usul inisiatif DPRA, dalam Sidang paripurna lanjutan pembahasan lima rancangan qanun (raqan) di Gedung Utama DPRA, Jumat (11/9) malam, kembali ditolak untuk dilanjutkan pembahasannya. Sikap Pemerintah Aceh tersebut disampaikan Sekdaprov Husni Bahri TOB, dalam membacakan jawaban/penjelasan gubernur terhadap pemandangan anggota dewan dan sejumlah pansus terhadap lima raqan yang sedang dibahas bersama.

Penolakan pihak eksekutif tersebut setidaknya memiliki dua alasan, yakni bahwa saat ini banyak hal lain di Aceh yang perlu untuk mendapatkan penanganan dan perhatian dengan segera. Dalam hal ini rencana pemberlakukan Qanun Wali Nanggroe, akan memunculkan konsekuensi pada penambahan beban anggaran APBA. Sehingga pihak eksekutif merasa ada prioritas lain yang lebih mendesak untuk disegerakan, daripada permasalahan Wali Nanggroe. Selain itu dari segi substansi, Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh menilai Raqan Wali Nanggroe yang disusun DPRA dianggap masih perlu adanya penyempurnaan dan penyelarasan karena dikhawatirkan akan bersinggungan dengan Raqan yang sudah ada. 

Penyelarasan tersebut diantaranya terkait keberadaan Majelis Adat Aceh yang menjalankan salah satu fungsi Wali Nanggroe sebagaimana tercantum dalam Qanun No. 9 tahun 2008, namun demikian dalam Raqan Wali Nanggroe belum terdapat satu pasal pun yang menjelaskan, dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan oleh Majelis Adat Aceh (MAA).

Sesuai dengan kesepakatan Pemerintah RI dan GAM dalam MoU Helsinki, Wali Nanggroe di Aceh dimungkinkan keberadaannya, sesuai dengan butir 1.1.7 yang menegaskan Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Selanjutnya secara legalitas perumusan lembaga Wali Nanggroe diatur lebih lanjut pada Bab XII pasal 96 dan 97 Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA). 

Dalam ketentuan itu keberadaan dan fungsi Wali Nanggroe secara gamblang disebutkan bahwa Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara adat lainnya. 

Di samping itu Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Sedangkan ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan, protokoler, keuangan dan lain-lainnya yang menyangkut Wali Nanggroe akan diatur dengan Qanun Aceh.

Dalam dinamika politik Aceh yang berkembang pesat saat ini, pro dan kontra menyikapi penyusunan Qanun Wali Nanggroe, dikhawatirkan akan terus bergulir serta berkembang ke arah yang dapat mengganggu perdamaian di Aceh bila tidak disikapi dengan benar dan proporsional. Menyikapi masalah Wali Nanggroe, kelompok yang berseberangan dengan kelompok GAM sewaktu konflik di Aceh lalu, tentu saja akan bersikap menolak diberlakukannya Wali Nanggroe di Aceh, karena dinilai memberikan celah tetap terbukanya separatis di Aceh. 

Sikapi itu muncul diantaranya didasari pandangan kelompok eks GAM, bahwa terkait hirarki antara Wali Nanggroe dan Gubernur Aceh, di kalangan kelompok tersebut berkembang pandangan bahwa posisi Wali Nanggroe berada di atas Gubernur Aceh. Wali Nanggroe tidak hanya sekedar simbol pemersatu, namun memiliki kewenangan melebihi pemerintahan (gubernur). 

Wali Nanggroe berhak membubarkan parlemen, menegur bahkan memecat gubernur bila dinilai tidak mampu memimpin. Bila pandangan itu masih dipegang oleh kalangan eks GAM, maka hal ini sudah jauh menyimpang dari ketentuan yang tertulis dalam UU PA. Dari pandangan itu, jelas bahwa Wali Nanggroe versi itu, sangat memiliki kewenangan yang kuat melebihi kewenangan seorang gubernur di Aceh. Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran sebagian kalangan di Aceh terhadap kemungkinan diberlakukannya Qanun Wali Nanggroe, selain karena memang tidak sesuai dengan ketentuan tata pemerintahan di Indonesia.

Mencermati Raqan Wali Nanggroe yang diajukan oleh DPRA, secara garis besar memang telah sesuai dengan apa yang tertuang dalam UUPA. Dimana disebutkan bahwa Wali Nanggroe adalah tidak lebih dari sebuah lembaga adat dan bukan lembaga politik, namun demikian memang masih diperlukan adanya penyempurnaan sehingga terjadi keselarasan dengan Qanun Aceh lainnya, terutama terkait dengan hubungan antara Wali Nanggroe dan Majelis Adat Aceh. 

Bila memang betul pemerintah Aceh menolak Raqan Wali Nanggroe atas dasar prioritas program dan masih perlu adanya penyempurnaan substansi, maka hal tersebut adalah hak dari eksekutif dan tidak perlu lagi untuk diperdebatkan. Ke depan terkait dengan Wali Nanggroe, yang perlu untuk kita cermati bersama adalah kiprah anggota DPRA periode mendatang, yang akan dilantik  dalam menyelesaikan Raqan tersebut. Dengan komposisi mayoritas anggota dewan dari Partai Aceh, bukan tidak mungkin Qanun Wali akan direvisi sesuai dengan kepentingan mereka yang mayoritas adalah eks anggota GAM/KPA. Seyogyanya semua kalangan di Aceh, termasuk para anggota dewan terpilih, dapat berfikir bijak dan arif sehingga tidak lagi memunculkan hal-hal yang dapat mengganggu keberlanjutan perdamaian di Aceh dan khususnya kesejahteraan masyarakat aceh dimasa yang akan datang.