Rabu, 01 Oktober 2014

GEPENG

Gelandangan

Banyaknya permasalahan yang ada di indonesia salah satunya penertiban gepeng dimana-mana yang meresahkan puluhan masyarakat di setiap provinsi dan kabupaten. Seperti yang kita ketahui pemerintah indonesia terutama pemerintah kabupaten aceh tengah yang terletak di titik tengah provinsi yang paling ujung di indonesia. Gepeng merupakan kepanjangan dari gelandangan dan pengemis yang merupakan sekumpulan orang yang tidak memiliki pekerjaan dan kekayaan harta yang memilih bekerja sebagai orang yang meminta-minta di sudut kota maupun dijalanan.

Hal ini meresahkan masyarakat tak halnya lagi beban dalam menyantuni mereka. Pemerintah kabupaten selama ini berusaha untuk menertibkan gepeng tersebut dengan bantuan dinas sosial kabupaten aceh tengah yang mana telah memulangkan mereka ke tempat asalnya. Namun, seringnya kembali dengan alasan tidak ada pekerjaan lain di daerahnya. Pemerintah aceh sendiri telah memberikan kesempatan bagi mereka untuk dapat hidup dan menempati panti-panti untuk dihuni oleh para gepeng sehingga dapat mensejahterakan dan memandirikan mereka. Seperti kita liat sendiri gepeng tersebut lebih memilih untuk meminta di jalanan karena uang yang didapat lumayan besar dibandingkan diam dipanti asuhan.

Dampak positif dan negatif tampaknya semakin sulit dihindari dalam pembangunan, sehingga selalu diperlukan usaha untuk lebih mengembangkan dampak positif pembangunan serta mengurangi dan mengantisipasi dampak negatifnya. Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan. Keberhasilan percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa-kota yang antara lain memunculkan gepeng karena sulitnya pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan dan pedesaan.

Menurut Departemen Sosial R.I (1992), gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.

Beberapa ahli menggolongkan gelandangan dan pengemis termasuk ke dalam golongan sektor informal. Keith Harth (1973) mengemukakan bahwa dari kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan termasuk pekerja sektor informal. Sementara itu, Jan Breman (1980) mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis terhadap kelas sosial di kota, yaitu
(1)  kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki ketrampilan;
(2)  kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal; dan
(3)  kelompok miskin yang kegiatannya mirip gelandangan dan pengemis. Kelompok kedua dan ketigalah yang paling banyak di kota dunia ketiga. Ketiga kelompok ini masuk ke dalam golongan pekerja sektor informal

Berdasarkan pada hasil penelitian, menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya Gepeng ádalah  faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya. Faktor internal meliputi :
(I)              kemiskinan;
(Ii)              umur;
(iii)          rendahnya tingkat pendidikan formal;
(iv)           ijin orang tua;
(v)           rendahnya tingkat ketrampilan;
(vi)          sikap mental.

Sedangkan faktor-faktor eksternal mencakup:  
(I)          berjalan hidrologis; 
(ii)       kondisi pertanian;
(iii)      kondisi prasarana dan sarana fisik;
(iv)     akses terhadap informasi dan modal usaha;
(v)       kondisi permisif masyarakat di kota;
(vi)     kelemahan pananganan Gepeng di kota.

          
  Oleh karena itu, pemecahan masalahnya harus mencakup dua aspek yaitu: kondisi di daerah asal; dan kondisi daerah tujuan. Prinsipnya adalah upaya pencegahan dilakukan di daerah asal sehingga mereka tidak terdorong untuk meninggalkan desanya dan mencari penghasilan di kota dengan cara membuka pekerjaan di desa. Sedangkan di sisi lain, prinsipnya adalah penanggulangan yaitu di tempat tujuan “harus” ditanggulangi atau ditangani sehingga mereka tidak lagi tertarik untuk menjadi Gepeng di kota, karena sudah merasa cukup di daerah asal yang ditinggalnya. 

Hal ini harus dipahami dan dimengerti oleh pemerintah daerah dan instansi terkait untuk lebih berusaha untuk memperbaiki daerah demi kesejahteraan masyarakat dan memandirikan masyarakat berdasarkan peraturan-peraturan dari kebijakan pemerintah tersebut.

GAM

SEJARAH mengapa GAM berdiri dan terbentuknya Walinanggroe....

BICARA GAM, mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Di bawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan.

Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ''Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.'' Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Tengku Nyak Arief gubernur di bumi Serambi Mekah.

Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946.

Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.

Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat.

Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.

Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi.

Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo.

Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.

Soekarno makin represif. Setiap ketidakpuasan dihancurkan oleh kekuatan militer. PRRI/Permesta pun disikat habis. Republik Persatuan Indonesia (RPI) pun ditumpas. Pemimpinnya ditangkapi. Tahun 1961, Presiden RPI Syfarudin Prawiranegara menyerah. Diikuti tokoh DI/TII lainnya, seperti M Natsir. Tetapi, Daud Beureueh tetap gerilya di hutan, melawan Soekarno.

Dikhianati

Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).

GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.

Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata.

Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM.

Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto. 


WALI NANGGROE



Mencermati Pro dan Kontra Qanun Wali Nanggroe Di Aceh Mencermati Pro dan Kontra Qanun Wali Nanggroe Di AcehTarik ulur tentang Wali Nanggroe menjadi topik krusial yang berkembang, di ujung masa tugas para anggota DPRA periode 2004-2009. Di tengah harapan agar Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe dapat disahkan sebelum mereka lengser sebagai anggota dewan, ternyata pihak eksekutif selaku pemegang kendali Pemerintahan Aceh menganggap Qanun tersebut belum mendesak untuk ditetapkan dalam waktu dekat ini. 

Raqan Wali Nanggroe yang diajukan sebagai usul inisiatif DPRA, dalam Sidang paripurna lanjutan pembahasan lima rancangan qanun (raqan) di Gedung Utama DPRA, Jumat (11/9) malam, kembali ditolak untuk dilanjutkan pembahasannya. Sikap Pemerintah Aceh tersebut disampaikan Sekdaprov Husni Bahri TOB, dalam membacakan jawaban/penjelasan gubernur terhadap pemandangan anggota dewan dan sejumlah pansus terhadap lima raqan yang sedang dibahas bersama.

Penolakan pihak eksekutif tersebut setidaknya memiliki dua alasan, yakni bahwa saat ini banyak hal lain di Aceh yang perlu untuk mendapatkan penanganan dan perhatian dengan segera. Dalam hal ini rencana pemberlakukan Qanun Wali Nanggroe, akan memunculkan konsekuensi pada penambahan beban anggaran APBA. Sehingga pihak eksekutif merasa ada prioritas lain yang lebih mendesak untuk disegerakan, daripada permasalahan Wali Nanggroe. Selain itu dari segi substansi, Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh menilai Raqan Wali Nanggroe yang disusun DPRA dianggap masih perlu adanya penyempurnaan dan penyelarasan karena dikhawatirkan akan bersinggungan dengan Raqan yang sudah ada. 

Penyelarasan tersebut diantaranya terkait keberadaan Majelis Adat Aceh yang menjalankan salah satu fungsi Wali Nanggroe sebagaimana tercantum dalam Qanun No. 9 tahun 2008, namun demikian dalam Raqan Wali Nanggroe belum terdapat satu pasal pun yang menjelaskan, dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan oleh Majelis Adat Aceh (MAA).

Sesuai dengan kesepakatan Pemerintah RI dan GAM dalam MoU Helsinki, Wali Nanggroe di Aceh dimungkinkan keberadaannya, sesuai dengan butir 1.1.7 yang menegaskan Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Selanjutnya secara legalitas perumusan lembaga Wali Nanggroe diatur lebih lanjut pada Bab XII pasal 96 dan 97 Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA). 

Dalam ketentuan itu keberadaan dan fungsi Wali Nanggroe secara gamblang disebutkan bahwa Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara adat lainnya. 

Di samping itu Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Sedangkan ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan, protokoler, keuangan dan lain-lainnya yang menyangkut Wali Nanggroe akan diatur dengan Qanun Aceh.

Dalam dinamika politik Aceh yang berkembang pesat saat ini, pro dan kontra menyikapi penyusunan Qanun Wali Nanggroe, dikhawatirkan akan terus bergulir serta berkembang ke arah yang dapat mengganggu perdamaian di Aceh bila tidak disikapi dengan benar dan proporsional. Menyikapi masalah Wali Nanggroe, kelompok yang berseberangan dengan kelompok GAM sewaktu konflik di Aceh lalu, tentu saja akan bersikap menolak diberlakukannya Wali Nanggroe di Aceh, karena dinilai memberikan celah tetap terbukanya separatis di Aceh. 

Sikapi itu muncul diantaranya didasari pandangan kelompok eks GAM, bahwa terkait hirarki antara Wali Nanggroe dan Gubernur Aceh, di kalangan kelompok tersebut berkembang pandangan bahwa posisi Wali Nanggroe berada di atas Gubernur Aceh. Wali Nanggroe tidak hanya sekedar simbol pemersatu, namun memiliki kewenangan melebihi pemerintahan (gubernur). 

Wali Nanggroe berhak membubarkan parlemen, menegur bahkan memecat gubernur bila dinilai tidak mampu memimpin. Bila pandangan itu masih dipegang oleh kalangan eks GAM, maka hal ini sudah jauh menyimpang dari ketentuan yang tertulis dalam UU PA. Dari pandangan itu, jelas bahwa Wali Nanggroe versi itu, sangat memiliki kewenangan yang kuat melebihi kewenangan seorang gubernur di Aceh. Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran sebagian kalangan di Aceh terhadap kemungkinan diberlakukannya Qanun Wali Nanggroe, selain karena memang tidak sesuai dengan ketentuan tata pemerintahan di Indonesia.

Mencermati Raqan Wali Nanggroe yang diajukan oleh DPRA, secara garis besar memang telah sesuai dengan apa yang tertuang dalam UUPA. Dimana disebutkan bahwa Wali Nanggroe adalah tidak lebih dari sebuah lembaga adat dan bukan lembaga politik, namun demikian memang masih diperlukan adanya penyempurnaan sehingga terjadi keselarasan dengan Qanun Aceh lainnya, terutama terkait dengan hubungan antara Wali Nanggroe dan Majelis Adat Aceh. 

Bila memang betul pemerintah Aceh menolak Raqan Wali Nanggroe atas dasar prioritas program dan masih perlu adanya penyempurnaan substansi, maka hal tersebut adalah hak dari eksekutif dan tidak perlu lagi untuk diperdebatkan. Ke depan terkait dengan Wali Nanggroe, yang perlu untuk kita cermati bersama adalah kiprah anggota DPRA periode mendatang, yang akan dilantik  dalam menyelesaikan Raqan tersebut. Dengan komposisi mayoritas anggota dewan dari Partai Aceh, bukan tidak mungkin Qanun Wali akan direvisi sesuai dengan kepentingan mereka yang mayoritas adalah eks anggota GAM/KPA. Seyogyanya semua kalangan di Aceh, termasuk para anggota dewan terpilih, dapat berfikir bijak dan arif sehingga tidak lagi memunculkan hal-hal yang dapat mengganggu keberlanjutan perdamaian di Aceh dan khususnya kesejahteraan masyarakat aceh dimasa yang akan datang.


Selasa, 01 Oktober 2013

ACEH loen sayang

SEJARAH BERDIRINYA ACEH


Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka meskipun tak mampu mengusir secara permanen. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Malaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh. Sultan Iskandar Muda pulalah yang memulai penggunaan Undang-Undang dalam pemerintahan yang dikenal dengan Qanun Meukuta Alam al Asyi.

 Duduk Teuku Kadi Malikul Adin (kanan) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kiri)  

Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.

Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.Nanggröe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan.

Ibukota NAD ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue. 

SULTAN ACEH

Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (mas kawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande

Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.

SEJARAH TERBENTUKNYA DAERAH ISTIMEWA ACEH 



Aceh yang mula-mula bernama Aceh Darusalam pada kurun waktu 1511 hingga 1959 selanjutnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darusalam (2001-2009) dan menjadi Provinsi Aceh (2012-sekarang).
Semenjak selesainya Perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkeraman Belanda belum selesai.
Selanjutnya Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil dari ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia.
Akhirnya, setelah Indonesia menjadi negara kesatuan, barulah Aceh pada 7 Desember 1959 ditetapkan sebagai Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Penetapan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1959.
Beberapa referensi menyebutkan, pengembalian Aceh menjadi provinsi itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara. Undang-undang ini diterbitkan pada 29 November 1956 dan berlaku sejak  7 Desember 1956.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan, kabupaten yang menjadi wilayah Aceh adalah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, dan Aceh Barat. Disebutkan juga Aceh Selatan dan Kota Besar Kutaraja (sekarang Banda Aceh) dipisahkan dari lingkungan daerah otonom Propinsi Sumatera Utara. Hal tersebut tertuang dalam Perpu No 5 tahun 1950 ketika Indonesia masih bernama Republik Indonesia Serikat.

Pada tahun 1946, saat itu Aceh bernama Daerah Aceh Langkat dan Tanah Karo yang dipimpin oleh Tgk. Daud Beureueh, kemudian 21 September 1953 namanya berganti lagi menjadi Aceh Sumatera Utara.
Berselang enam tahun kemudian, pada 1959 namanya diganti lagi menjadi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Selanjutnya dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2001 nama daerah ujung Pulau Sumatera ini berganti lagi dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada masa Gubernur Aceh, Abdullah Puteh.
Terakhir pasca MoU Helsinki dengan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU PA) No.11 Tahun 2006 menjadi Provinsi Aceh. “Saat ini sudah mulai ada kekhususan di Aceh dengan adanya UU PA,” kata Makmur.
Kekhususan yang dimaksud Makmur adalah dengan 9 (sembilan) Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang merupakan turunan UU PA ada yang belum tuntas. “Saat ini ada 3 RPP Yang sudah diselesaikan oleh Pemerintah Pusat, yaitu soal kawasan Sabang, Pemilihan Sekda dan Partai Lokal” kata Makmur.
Sedangkan RPP yang lain dianggap penting misalnya pelimpahan aspek kehutanan dan badan pertanahan masih belum disetujui oleh pusat. Begitu juga dengan RPP Minyak dan Gas Aceh yang belum tuntas.



Sistem Politik


 SISTEM POLITIK

1.   Studi tentang sistem politik antara lain berbicara  mengenai struktur politik dan kultur politik. Coba saudara jelaskan mengenai struktur politik dan kultur politik dimaksud secara rinci, dengan disertai contoh konkret !
Jawab:
Sistem politik terdiri dari tradisional, transisi dan modern
Sistem politik itu sangat luas namun bila diringkaskan bisa dilihat dari dua sudut pandang yatu kultur (budaya) atau struktur (lembaga).
STRUKTUR POLITIK
Politik adalah Alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan.Kekuasaan berarti kapasitas dalam menggunakan wewenang, hak dan kekuatan fisik.
Ketika berbicara struktur politik maka yang akan diperbincangkan adalah tentang mesin politik sebagai lembaga yang dipakai untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan jenisnya mesin politik terbagi dua yaitu :
1.    Mesin politik Informal (infrastrutur politik )kehidupanpolitikrakyat yang berkaitan dengan pengelompokan warganegara atau anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasanya disebut sebagai kekuatansosialpolitik.

Infastrukturpolitik di Indonesia terdiriatas :
a.    Partaipolitik( political party)
b.     KelompokKepentingan (Interest group)
c.    Kelompokpenekan (preassure group)
d.    Media komunikasipolitik (media of political cumunicatian)
e.    Kelompokwartawan (journalism group)
f.     Kelompokmahasiswa (student group)
g.    Tokohpolitik( politicalfigres)

-       Pengelompokan atas persamaan sosial ekonomi
  •   Golongan petani merupakan kelompok mayoritas (silent majority)
  •    Golongan buruh
  •   Golongan Intelegensia merupakan kelompok vocal majority

-       Persamaan jenis tujuan seperti golongan agama, militer, usahawan, atau seniman
-       Kenyataan kehidupan politik rakyat seperti partai politik, tokoh politik, golongan kepentingan dan golongan penekan.

2.    Mesin politik formal (suprastruktur politik )
Kehidupan politik pemerintahan yang berkaitan dengan kehidupan lembaga-lembaga negara, fungsi dan wewenang serta hubungan kewenangan antar lembaga negara yang ada.
Mesin politik formal berupa lembaga yang resmi mengatur pemerintahan yaitu yang tergabung dalam trias politika :
-       Legislatif
-       Eksekutif
-       Yudikatif
Fungsi Politik
1)    Pendidikan politik
2)    Mempertemukan kepentingan atau mengakomodasi dan beradaptasi
3)    Agregasi kepentingan yaitu menyalurkan pendapat masyarakat kepada penguasa, disini penyalurnya berarti pihak ketiga
4)    Seleksi kepemimpinan
5)    komunikasi politik yaitu masyarakt mengemukakan langsung pendapatnya kepada penguasa demikian pula sebaliknya.
BUDAYA POLITIK (Kultur Politik )
Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik.Budaya politik berbeda dengan peradaban politik yang lebih dititiktekankan pada teknologi.Budaya politik dilihat dari perilaku politik masyarakat antara mendukung atau antipati juga perilaku yang dipengaruhi oleh orientasi umum atau opini publik.
Tipe budaya politik
1.    Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.
2.    Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input.
3.    Budaya partisipan yaitu budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik.
4.    budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran.
Ketika melihat budaya politik di Indonesia kita bisa melihat dari aspek berikut:
a.    Konfigurasi subkultur. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang beragam, namun semuanya sudah melebur menjadi satu bangsa sehingga tidak muncul kekhawatiran terjadi konflik. Berbeda dengan india yang subkulturnya sangat beragam bahkan terjadi sekat antar kasta.
b.    Bersifat Parokial kaula. Karena masyarakat Indonesia mayoritas masih berpendidikan rendah maka budaya politiknya masih bersifat parokial kaula.
c.    Ikatan primordial, sentimen kedaerahan masih muncul apalagi ketika Otonomi Daerah diberlakukan.
d.    Paternalisme, artinya masih muncul budaya asal bapak senang (ABS)
e.    Dilema interaksi modernisme dengan tradisi. Indonesia masih kuat dengan tradisi namun modernisme mulai muncul dan menggeser tradisi tersebut sehingga memunculkan sikap dilematis.

3.    Setiap sistem politik memiliki struktur politik, dan setiap struktur politik menjalankan fungsi. Coba saudara uraikan fungsi input dan output system politik !
Jawab :
Ä      Fungsi-fungsi Input meliputi:
1.    Sosialisasi politik
2.    Rekrutmen Politik
3.    Artikulasi Kepentingan
4.    Agregasi Kepentingan
5.    Komunikasi Politik

1.    Fungsi Sosialisasi Politik

Sosialisasi Politik merupakan suatu cara untuk memperkenalkan nilai-nilai politik, sikap-sikap dan etika politik yang berlaku atau yang dianut oleh suatu negara.
Pembentukan sikap-sikap politik atau untuk membentuk suatu sikap dan keyakinan politik dibutuhkan waktu yang panjang melalui proses yang berlangsung tanpa henti. Menurut Gabriel Almound, dalam Sosialisasi Politik, terdapat hal yang penting, yaitu :
Sosialisasi Politik berjalan terus menerus selama hidup seseorang.Sikap-sikap dan nilai-nilai yang didapatkan dan terbentuk pada masa kanak-kanak akan selalu disesuaikan atau akan diperkuat sementara ia mengalami berbagai pengalaman sosial. Pendidikan sekolah, pengalaman keluarga dan pengaruh pergaulan berperan dalam memperkuat keyakinan tetapi dapat pula mengubahnya secara drastis. Sosialisasi Politik dapat berwujud transmisi dan pengajaran.
Artinya dalam sosialisasi itu terjadi interaksi antara suatu sikap dan keyakinan politik yang dimiliki oleh generasi tua terhadap generasi muda yang cenderung masih flesibel menerima pengaruh ajaran. Transmisi dan pengajaran tersebut dapat berwujud :interaksi langsung yaitu berupa pengajaran formal ataupun doktrinasi  suatu ideologi.
Contoh: pengajaran matakuliah Pancasila di perguruan tinggi. Interaksi tak langsung, yang sangat erat pengaruhnya pada masa kanak-kanak, di mana berkembang sifat penurut atau sikap pembangkangan terhadap orang tua, guru atau teman yang mempengaruhi sikapnya di masa dewasa terhadap pemimpin politiknya dan terhadap sesama warga negara. Misalnya ketika masa kanak-kanak, pengalaman yang didapatkannya adalah terjadinya perpecahan keluarga dan otoriter orang tua. Kondisi dan pengalaman seperti itu melahirkan suatu kebencian, sehingga ketika terjadi suatu kondisi dalam negara yang sifatnya dapat disamakan dengan keadaan dan pengalaman masa kecilnya, akan melahirkan pula kebencian yang diwujudkan dalam partisipasi politik ilegal seperti demonstrasi, oposisi dan gerakan subversif.

2.    Fungsi Artikulasi Kepentingan

Artikulasi Kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam kebijaksanaan pemerintah.
Pemerintah dalam mengeluarkan suatu keputusan dapat bersifat menolong masyarakat dan bisa pula dinilai sebagai kebijaksanaan yang justru menyulitkan masyarakat. Oleh karena itu warga negara atau setidak-tidaknya wakil dari suatu kelompok harus berjuang untuk mengangkat kepentingan dan tuntutan kelompoknya, agar dapat dimasukkan ke dalam agenda kebijaksanaan negara. Wakil kelompok yang mungkin gagal dalam melindungi kepentingan kelompoknya akan dianggap menggabungkan kepentingan kelompok, dengan demikian keputusan atau kebijaksanaan tersebut dianggap merugikan kepentingan kelompoknya.

3.    Fungsi Agregasi Kepentingan

Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah.
Agregasi kepentingan dijalankan dalam “sistem politik yang tidak memperbolehkan persaingan partai secara terbuka, fungsi organisasi itu terjadi di tingkat atas, mampu dalam birokrasi dan berbagai jabatan militer sesuai kebutuhan dari rakyat dan konsumen”.
Dalam masyarakat demokratis, Partai menawarkan program politik dan menyampaikan usul-usul pada badan legislatif, dan calon-calon yang diajukan untuk jabatan-jabatan pemerintahan mengadakan tawar-menawar (bargaining) pemenuhan kepentingan mereka kalau kelompok kepentingan tersebut mendukung calon yang diajukan.

4.    Fungsi Rekrutmen Politik

Rekrutmen Politik adalah suatu proses seleksi atau rekrutmen anggota-anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan administratif maupun politik. Setiap sistem politik memiliki sistem atau prosedur-prosedur rekrutmen yang berbeda. Anggota kelompok yang rekrut/diseleksi adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat yang sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan atau fungsi politik.

5.    Fungsi Komunikasi Politik

Komunikasi Politik adalah salah satu fungsi yang dijalankan oleh partai poltik dengan segala struktur yang tersedia, mengadakan komunikasi informasi, isu dan gagasan politik. Media-media massa banyak berperan sebagai alat komunikasi politik dan membentuk kebudayaan politik. Partai politik menjalankan fungsi sebagai alat mengkomunikasikan pandangan dan prinsip-prinsip partai, program kerja partai, gagasan partai dan sebagainya.
Agar anggota partai dapat mengetahui prinsip partai, program kerja partai atau pun gagasan partainya untuk menciptakan ikatan moral pada partainya, komunikasi politik seperti ini menggunakan media partai itu sendiri atau media massa yang mendukungnya.

Ä Fungsi-fungsi output meliputi :

1.    Fungsi Pembuatan Kebijakan
Fungsi pembuatan kebijakan dilaksanakan oleh lembaga Legislatif yang meliputi DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi daerah.
2.    Fungsi Penerapan Kebijakan
Fungsi penerapan kebijakan dilaksanakan badan Eksekutif yang meliputi dari pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah.
3.    Fungsi Ajudikasi Kebijakan
Fungsi adjudikasi kebijaan dilaksanakan oleh badan peradilan yang meliputi MA, MK, Komisi Yudisial serta badan-badan kehakiman.
Pembuatan kebijakan dan penerapan kebijakan di Indonesia dapat dibedakan menjadi 4 tahap, yaitu :
1.    Masa Demokrasi Liberal
2.    Masa Demokrasi Terpimpin
3.    Masa Demokrasi Pancasila
4.    Masa Reformasi
Dalam menganalisa sitem politik dapat digunakan beberapa aspek untuk membedakan proses yang terjadi dalam suatu masa dengan masa yang lain agar diperoleh perbedaan yang akan lebih memudahkan kita untuk membaca output yang terbentuk, antara lain :
  • Penyaluran tuntutan
  • Pemeliharaan nilai
  • Kapabilitas
  • Gaya politik
  • Kepemimpinan
  • Partisipasi massa
  • Keterlibatan militer
  • Aparat negara
  • Stabilitas
4.    Sistem politik mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem-sistem lainnya.
Jelaskan secara singkat pengaruh-pengaruh : sistem sosial, sistem budaya, sistem hukum, sistem ekonomi terhadap system politik !
Berikan ilustrasi dalam jawaban saudara !

Jawab :
Sistem politik mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem-sistem lainnya. Jelaskan secara singkat pengaruh-pengaruh : sistem sosial, sistem budaya, sistem hukum, sistem ekonomi terhadap system politik !
Berikan ilustrasi dalam jawaban saudara !
Jawab :
 Setiap system yang ada di masyarakat selalu mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Masing-masing mempunyai peran yang penting, sehingga masing-masing sistem tidak bisa berdiri sendiri.
û Pengaruh system politik dengan system social
Keadaan politik yang terjadi di masyarakat selalu mempengaruhi kehidupan social yang ada di dalamnya. Misalnya saja, ketika disuatu Negara terjadi pemilu, maka situasi politik yang ada juga akan memanas, hal itu akan mempengaruhi  interaksi social antar masyarakt, terutama antar pendukung kelompok yang berbeda.
û Pengaruh system politik dengan system budaya
System politik juga dipengaruhi oleh budaya yang berlaku di setiap masyarakat. Karena seperti yang kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masih menjunjung tradisi atau kebudayaan yang diturunkan oleh generagi sebelumnya. Maka, dalam setiap pengambilan kebijakan politik tidak hanya memperhatikan
û Pengaruh system politik dengan sistem hukum
Sistem politik yang ada di Indonesia sangat berpengaruh erat dengan sistem hukum  dimana jika terjadinya suatu pelanggran terhadap kebijakan yang diambil dalam pemerintahan legislatif maka hukum ikut campur begitupun sebaliknya dengan proses dalam hukum itu juga
û Pengaruh system politik dengan system ekonomi
Sistem politik biasanya tidak terlepas dari ekonomi karena biaya pendanaan terhadap terlaksananya kegiatan politik yang disusun dari rencana dan kebijakan-kebijakan membutuhkan sistem ekonomi yang baik sehingga biaya yang sudah direncanakan imbang dengan kegiatan yang nanti dilakukan.
                                                          
5. Kapabilitas sistem politik meliputi extractive capability,regulatif capability , distributive capability, symbolic capability. Bagaimana kapabilitas sistem politik di Indonesia?
Jawab :
Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
a)    Kapabilitas Ekstraktif,
 yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
b)    Kapabilitas Distributif.
SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
c)    Kapabilitas Regulatif (pengaturan).
Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
d)    kapabilitas simbolik,
artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
e)    kapabilitas responsif,
dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
f)     kapabilitas dalam negeri dan internasional.
Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.

Menurut saya kapabilitas sistem politik di indonesia sispol yang kita jalani belum berhasil dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber daya alam yang melimpah ruah di bumi Indonesia ini belum dieksplorasi oleh pemerintah untuk mensejahterakan rakyat, hingga jatuh ketangan yang tak sepantasnya. Belum lagi kebijakan publik yang seharusnya menjadi representasi keinginan rakyat tidak teraktualisasi secara efektif dan efisien. Hmmmm.. kita berharap suatu saat Republik ini dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai kapabilitas simbolik kuat dan berkwalitas kepemimpinan yang hebat

6. Fungsi utama partai politik antara lain artikulasi kepentingan dan agregasi kepentingan ! jelaskan bagaimana partai-partai politik di Indonesia menjalankan fungsi-fungsi tersebut !
Jawab :
                Dalam menjalankan fungsinya parpol akan ikut ditentukan oleh kelompok – kelompok dan tujan yang akan dicapai. Suatu partai revolusioner akan berjuang untuk merubah seluruh tatanan organisasi pemerintahan, kebudayaan masyaraakat dan sistem ekonomi dari suatu kondisi  dan apabila berhasil ia mungkin akan mengandalkan setiap kegiatan penting dalam masyarakat itu.
                        Fungsi parpol dalam menjalankan fungsinya sebagai :
Ä artikulasi kepentingan
adalah fungsi menyatakan atau menyampaikan ( mengartikulasi ) kepentingan konstituen ( masyarakat ) kepada badan-badan politik dan pemerintah melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk bersama orang lain yang memilik kepentingan yang sama. Bentuk artikulasi yang paling umum di semua sistem politik adalah pengajuan permohonan secara individual kepada anggota dewan kota, parlemen, pejabat pemerintah atau dalam masyarakat tradisional kepada kepala desa atau ketua suku. Idelanya, funsi ini menjadi tugas partai politik untuk mengartikulasikannya.
Ä Agregasi  kepentingan
Adalah menjadi fungsi partai politik untuk memadukan semua aspirasi yang ada dalam masyarakat  yang kemudian dirumuskan sebagai program politik dan disulkan kepada badan legislatif dan calon –calon yang diajukan untuk jabatan-jabatan pemerintahan mengadakan tawar-menawar dengan kelompok-kelompok kepentingan, dengan menawarkan pemenuhan kepentingan mereka kalau kelompok kepentingan itu mau mendukung calon tersebut.